“Percakapan Gelap” dalam Sajak #10huruf karya Junay Surip

1/

“malam padam.” (ma’ar : I)

2/

“mati mataku.” (ma’ar: I)

 

Kemarau, jam dua belas siang, adalah bukti dari kemenangan pagi atas malam hari. Lalu mata kita tak dapat meilhat apapun; silau. Bahkan sebuah layang-layang yang gemetar “diganggu” angin. Kita tinggal pilih, “Mau bangun, atau mau tidur lagi?” Kata Goenawan Mohamad dalam salah satu Kartu Pos yang ia tulis.

Saya jadi teringat, bahwa baik layang-layang, maupun seorang anak yang bermain layang-layang itu, mereka bisa saling bersangkutan di langit melalui angin: Satu angin yang tenang, yang bisa ditarik-tarik, dan satu lagi angin yang lain, yang selalu mengajak kita bersenda-gurau.

Sajak #10huruf karya Junay, “’malam padam.’ (ma’ar : I)”, pun bicara hal yang sama dalam hal ini. Sajak berikutnya berkata: “mati mataku.” Kedua-duanya tanpa judul sama sekali; benar-benar perasaan yang sedang “gelap.”

Kemarau menggeser pasir. Tetapi ia tidak menggusur monsum musim dingin. Kemarau berjalan kearahnya sendiri, tetapi secara bersamaan ia pelan-pelan masuk ke musim semi lagi. Kemarau naik, tapi segera akan jadi sore, lalu malam lagi. Dan lalu padam lagi, mati lagi. Puisinya, berhenti di sini. Entah tersangkut apa. (?)

Dalam sajak Narudin “Gemuruh Ombak (2015),” misalnya dikatakan: “Penyair tak pernah menulis puisi dengan tangan, dengan biji cahaya atau buah kegelapan … Penyair menulis puisi dengan penglihatan baru dan sedikit Cahaya.” Tetapi kalau begitu, bagaimana nasib puisi Junay di atas? yang menyampaikan pesan akan kematian cahaya, bahkan “kematian” malam itu sendiri?

“Demi malam apabila telah padam. Dan siang bila terang benderang. Sungguh usahamu itu beraneka ragam. (92: 1-2, 4)

Atau seperti ini:

“Demi waktu Dhuha. Apabila malam telah padam. (sesungguhnya) Tuhanmu itu, tidak meninggalkanmu, atau pula membencimu. (Qs. 93:11)”

Tetapi masalahnya, ini, adalah bayang-bayang seorang anak desa yang memang pernah mengalami hidup, dan bisa melihat layang-layang terbang di bawah cahaya itu, bersama angin yang berloncatan. Dan kata orang tua zaman dulu, waktu pencerahan (baca: fajar) yang benar, adalah dimulai ketika semut-semut yang berjalan di pohon depan rumah mulai terlihat kembali. Waktu itulah waktu yang baik untuk merenung sejenak sebelum memulai sembahyang’ Dalam bahsa Narudin, kita (tetap) masih membutuhkan “sedikit Cahaya,” dan dengan “C” besar.

Maka sekali lagi kita seolah-olah diminta oleh penyairnya untuk memahami lebih dalam lagi sajaknya yang memiliki kesamaan sintaksis bunyi yang seperti sebuah “Sepisaupi.” Bahwa “mati mataku,” pada akhirnya berhenti di kata yang bisu. Yang pengertiannya, tidak dicari-cari dari pengertian semantiksnya, dari pengertian sajaknya, tetapi dari yang oleh Heidegger disebut sebagai “Rede” atau “percakapan gelap”(penyair)nya .

Tinggalkan komentar